Api nan tak kunjung padam pada " DHANGKA " memiliki latar belakang kisah
dari suatu legenda " KI MOKO ". Konon kira-kira pada abad XVI sekitar
tahun 1605 saka atau tahun 1683 Masehi hiduplah seorang pengelana
penyebar agama Islam yang memiliki kesaktian yang bernama KI MOKO dengan
nama aslinya R. WIGNYO KENONGO.
Di tengah-tengah hutan yang tandus dimana dia bertempat tinggal, KI MOKO
yang pekerjaannya sehari-hari mencari ikan di laut, berhasil
menciptakan sumber-sumber kebutuhan hidup yang diupayakan guna memenuhi
kebutuhan yang mendesak yaitu pada saat ia harus menyambut atau menjamu
tamu dari kerajaan dalam rangka perayaan pernikahan dirinya dengan putri
raja.
Kisah ini bermula ketika KI MOKO mendengar berita bahwa Raja Kerajaan
Palembang sedang dirundung kesedihan karena seorang putrinya tengah
menderita sakit yang tak kunjung sembuh, meski telah banyak tabib yang
mengobatinya.
Pada kesempatan itu KI MOKO terpanggil untuk mencoba membantu mengobati
penderitaan putri raja KI MOKO mempersembahkan sesuatu kepada Sang raja
berupa tabung-tabung bambu yang penuh berbagai mata ikan dan dikirimkan
melalui utusan, menerima persembahan dari KI MOKO Raja sangat terkejut
karena barang yang semula dianggap kurang berharga menjelma menjadi
barang berharga berupa Permata Intan dan Berlian. Sang raja sangat
terkeut dan gembira begitu pula Sang Putri yang pada akhinya membuat ia
sembuh dari sakitnya.
Melihat kejadian ini Sang Raja merasa berhutang budi kepada KI MOKO dan
sesuai janjinya Sang Raja menganugerahkan hadiah berupa sebuah peti
kepada KI MOKO dan dikirim melalui utusan, setelah peti tersebut sampai
ke tangan KI MOKO dan dibukanya ternyata dari dalamnya terjelma seorang
Putri yang amat cantik jelita, itulah SITI SUMENTEN Putri Raja yang
sengaja dianugerahkan kepada KI MOKO untuk dijadikan istri, menghadapi
kenyataan ini KI MOKO sangat masqul dan gembira hatinya. Namun
kegembiraan itu sejenak berubah menjadi rasa risau karena kebersamaan
dengan itu pula tersirat suatu berita bahwa tak lama lagi rombongan dari
Kerajaan akan segera datang ke tempat kediaman KI MOKO untuk
melangsungkan perayaan pernikahan. Kerisauan KI MOKO disebabkan karena
tempat kediaman serta segala kebutuhan perayaan sangat tidak
memungkinkan. Namun kerisauan tersebut akhirnya sirna setelah KI MOKO
memusatkan batin melalui semedinya untuk memohon pertolongan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dengan menancapkan tongkat saktinya berdirilah bangunan istana yang
sangat megah ( bangunan tersebut sirna setelah kegiatan perayaan selesai
).
Demikian pula untuk memenuhi kebutuhan yang lain seperti kebutuhan
sumber air dan seterusnya dengan cara yang sama KI MOKO menancapkan
tongkatnya pada tanah. Pada saat itulah tercipta sumber air yang
akhirnya menjadi sebuah telaga serta pancaran kobaran api yang
senantiasa menyala dan akan berguna untuk kebutuhan manusia.
Dengan demikian puaslah hati KI MOKO dan pelaksanaan pesta pernikahan
dapat berjalan dengan lancar. Sampai saat ini, semburan api alam
tersebut masih tetap abadi hingga dikenal dengan istilah " API NAN TAK
KUNJUNG PADAM " "DHANGKA". Dhangka artinya rumah tempat kediaman /
Istana yang kemudian sirna yang lokasinya terdapat di dusun Asem manis
II Desa Larangan Tokol, Kec. Tlanakan, Kab. Pamekasan.
Sedangkan Patilasan / makam KI MOKO terletak di dusun Palanggaran Desa
Branta Tinggi Kecamatan Tlanakan Kab. Pamekasan yang sampai saat ini
oleh masyarakat sekitar masih dikeramatkan. Untuk merawat / menjaga
sumber api dan sumber air tersebut, maka KI MOKO mengutus Ki Rahma dan
Nyi Rahma ( Buju'Tonggah ) yang artinya sebagai penunggu yang kuburannya
/ astanya terletak di Pojok Barat Laut Lokasi Api Ala Mini.
Demikian kisah singkat dari Api Alam " DHANGKAH"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar